Hari Tani Nasional 2024, LIAR Sulbar Sebut Nasib Petani Semakin Sulit

Peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2024, Kelompok Petani Kampung, Walhi Sulbar dan Liar Sulbar gelar diskusi dan nobar film di Kelurahan Batupanga, Kecamatan Luyo, Selasa, (24/9/2024)
banner 1280x330

AKARNEWS.ID, POLMAN – Pada momentum peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2024, Kelompok Petani Kampung (KPK) bersama Walhi Sulbar, Liar Sulbar dan Himpunan Mahasiswa Agroteknologi menggelar diskusi dan nobar bersama di Kelurahan Batupanga, Kecamatan Luyo, Selasa, (24/9/2024).

Diskusi dihadiri puluhan masyarakat dari berbagai perwakilan kelompok tani, komunitas pedesaan dan mahasiswa.

Kegiatan ini dikemas dalam tema “Praktik Pertanian Berkelanjutan dan dampaknya terhadap lingkungan”. Mereka mendiskusikan kondisi pertanian hari ini maupun yang akan datang.

Bacaan Lainnya

Direktur Liar Sulbar, Harun Yamerang sebagai pembicara menyatakan pentingnya menyadari bersama mengapa Hari Tani Nasional perlu diperingati.

Dikatakan, pada momentum Hari Tani Nasional mengajak kita semua untuk flashback serta merefleksi kembali sejarah pergolakan petani di Indonesia.

Tak hanya itu, menurut Harun, Hari Tani Nasional juga merupakan alarm bagi para pemangku kebijakan agar implementasi Undang-Undang Pokok Agraria segera dilaksanakan sebagai mandat Negara.

“Petani adalah penjaga pangan, karena petanilah bangsa Indonesia masih ada sampai sekarang, menjaga negara ini agar rakyatnya tidak mati kelaparan” kata Harun.

Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa status kemuliaan petani tidak berbanding lurus dengan kondisi yang mereka alami saat ini.

“Justru diberbagai lapisan masyarakat seringkali kali ditemui kondisi petani saat ini begitu miris, nasibnya semakin sulit, hidupnya serba tidak berkecukupan” terang Harun.

Puluhan petani di Kecamatan Luyo hadir dalam kegiatan dialog dan nobar film “Silat Tani” Peringatan Hari Tani Nasional 2024.

Sementara itu, Nurwahida selaku pembicara di dialog ini juga menyatakan hal yang senada.

“Lahirnya Hari Tani Nasional bertolak dari kondisi ketidakadilan yang terjadi pada petani di zaman kolonial hingga pasca kemerdekaan. Kurangnya Hak penguasaan lahan dan penentuan sistem bertani bagi para petani. Artinya bahwa spirit dari lahirnya Hari Tani Nasional inilah yg mesti dilanjutkan. Petani Harus tetap berkuasa atas kepemilikan lahan dan sistem bertaninya. Tidak kemudian dengan mudah di hegemoni untuk sebuah program yang akan menyeretnya pada kondisi seperti masa kolonial. Dimana perusahaan asing dan tuan tanah yang menjadi kuasa dalam pertanian masyarakat pribumi. Petani harus berdaulat atas tanah, ruang, dan penghidupannya” kata Nurwahida.

Ia juga mengatakan, bahwa wilayah kelola petani hari ini terus dirampas. melalui ekspansi tanaman monokultur atau dengan konsesi tambang yang semakin membuat petani terseok-seok dalam mengarungi hidup.

“Terlebih lagi mengingat bahwa dampak kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas tersebut yang lagi-lagi keluarga petani yang paling rentan terpapar. Sehingga petani kita saat ini semakin terjerembab dalam kehidupan yang begitu miris di negeri agraris” sambungnya.

Di ujung agenda peringatan Hari Tani Nasional tersebut diakhiri dengan Nobar bersama Film dokumenter yang di produksi oleh Watcdhoc berjudul “Silat Tani”.

Mereka mencoba menelaah bersama pesan moral yang disampaikan dari tontonan tersebut sekaligus mempersilahkan semua yang menyaksikan untuk memberi tanggapan.

Ketua Kelompok Petani Kampung (KPK), Risman berharap agar kegiatan semacam ini bisa terus dilaksanakan ke depannya.

“Saya mengharapkan agar kegiatan semacam ini bisa terus kita laksanakan ke depan bersama Walhi Sulbar, Liar Sulbar dan Mahasiswa yang perduli dengan isu-isu keberlanjutan semacam ini. Mengingat betapa pentingnya membincang ruang hidup dan penghidupan petani kita saat ini” kata Risman.

Risman juga menambahkan, bahwa petani mestinya menjadi prioritas utama dalam pembangunan sumber daya manusia oleh pemerintah dan mengutamakan pola pertanian berkelanjutan.

“Kita lihat fakta-fakta kehidupan petani kita hari ini dan setiap 5 tahun sekali terjadi sirkulasi elit kepemimpinan di lingkup pemerintahan, tapi kehidupan petani dan kondisi pertanian tidak jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya, jadi kita berharap ada perhatian khusus pemerintah untuk memanfaatkan pertanian berkelanjutan tanpa menggunakan bahan-bahan pestisida sintetik yang nyata-nyata berdampak buruk terhadap petani dan pertanian kita” tutup Risman. (*)

Pos terkait