Kasus Oli Palsu di Polman: Kejahatan Kemanusiaan

AKAR NEWS
28 Mei 2025 15:50
2 menit membaca

AKARNEWS.ID, OPINI – Kasus peredaran oli palsu di Polewali Mandar (Polman) yang diduga melibatkan seorang pengusaha sukses sangat meresahkan masyarakat. Oli yang seharusnya melindungi mesin kendaraan, justru menjadi sumber kerusakan serius akibat kualitasnya yang tidak sesuai standar.

Ini bukan hanya persoalan bisnis curang, tetapi sudah masuk ranah kejahatan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat kecil.

Kerugian yang dialami masyarakat tidaklah kecil. Banyak pengendara—terutama dari kalangan pekerja informal dan berpenghasilan rendah—mengalami kerusakan mesin dengan biaya perbaikan yang bisa mencapai antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta.

Di tengah kesulitan ekonomi saat ini, pengeluaran tak terduga seperti ini sangat memberatkan. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan keluarga harus dikorbankan demi memperbaiki kendaraan, satu-satunya alat untuk mencari nafkah.

Tindakan ini sangat tidak manusiawi. Para pelaku meraup keuntungan dari penderitaan rakyat kecil dengan memasarkan produk palsu yang membahayakan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi sudah merupakan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam:

Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, pidana penjara paling lama empat tahun.”

Selain itu, kasus ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya:

Pasal 8 ayat (1): “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif, perdata, bahkan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.

Kasus ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum. Tidak boleh ada toleransi terhadap kejahatan yang menyengsarakan masyarakat kecil.

Negara harus hadir, hukum harus ditegakkan, dan masyarakat harus mendapatkan perlindungan nyata dari praktik bisnis yang curang dan berbahaya.

Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Kita tidak boleh diam. Masyarakat, aktivis, dan semua pihak harus bersuara agar keadilan benar-benar ditegakkan. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x