Oleh: Hamzah Durisa (Pegiat Literasi Pemuda Berbagi (PaGi) Indonesia/Aktivis GUSDURian)
AKARNEWS.ID, OPINI – Wacana pemekaran daerah selalu menghadirkan pro dan kontra, dan rencana menjadikan Balanipa sebagai kabupaten baru di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, tidak terkecuali.
Bahkan di rapat Paripurna DPRD Kabupaten Polewali Mandar baru-baru ini juga mengemuka diskursus tentang kelayakan dan kesiapan pemekaran tersebut. Bagi sebagian orang, pemekaran ini adalah harapan baru yang bisa membawa kesejahteraan dan kemajuan bagi masyarakat setempat.
Akan tetapi, bagi yang lain, ini bisa menjadi keputusan tergesa-gesa yang justru membawa lebih banyak masalah ketimbang solusi. Jadi, apakah Balanipa benar-benar layak menjadi kabupaten baru?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihatnya dari beberapa sudut pandang: ekonomi, sosial, politik, dan administrasi dan lain sebagainya. Mari kita kupas satu per satu.
Mengapa Balanipa?
Secara historis, tidak dipungkiri bahwa Balanipa menjadi bagian dari episentrum utama perjalanan masyarakat Mandar (Sulbar). Dengan menjadi leader di masa-masa kerajaan ratusan tahun yang lalu.
Balanipa merupakan sebuah kerajaan yang menjadi pusat dari kerajaan yang membentang mulai dari Binuang hingga Mamuju, dari Pitu Babana Binanga (pantai) ke Pitu Ulunna Salu (pegunungan).
Tentu, ini adalah sejarah yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Ini jugalah menjadi salah satu basis perjuangan yang kemudian menjadi alasan bagi para pejuang yang menghendaki Balanipa menjadi sebuah wilayah administratif baru, seringkat kabupaten.
Balanipa, yang saat ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar, memiliki potensi yang cukup besar. Letaknya strategis, memiliki kekayaan alam yang melimpah, serta jumlah penduduk yang relatif besar.
Namun, meskipun memiliki semua itu, Balanipa seolah terlupakan dalam banyak kebijakan pembangunan yang terpusat di ibu kota kabupaten, Polewali. Ini adalah keluhan umum yang sering muncul dari masyarakat setempat—mengapa selama ini pembangunan lebih banyak difokuskan di wilayah lain, padahal Balanipa punya potensi yang tak kalah besar.
Aspirasi untuk menjadikan Balanipa daerah otonomi baru yang terpisah dari Polewali Mandar pun mengemuka dari tahun ke tahun. Masyarakat Balanipa merasa bahwa dengan status kabupaten baru, mereka bisa mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam hal pembangunan dan peningkatan kualitas hidup.
Namun, apakah langkah ini benar-benar dapat membawa manfaat jangka panjang, atau justru bisa menjadi bumerang? Nah, mari kita analisis dari berbagai sudut pandang.
Sejauh Mana Potensi yang Dimiliki?
Di belahan dunia manapun, tidak ada yang bisa membantah bahwa ekonomi menjadi salah satu alasan utama di balik wacana pemekaran sebuah daerah, termasuk Balanipa.
Dengan wilayah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, seperti pertanian, perikanan, dan hasil bumi, Balanipa memiliki potensi yang besar untuk berkembang. Sektor pertanian misalnya, selain tanaman pangan seperti padi dan jagung, juga ada potensi untuk mengembangkan sektor hortikultura.
Begitu pula dengan perikanan yang banyak dikelola oleh masyarakat setempat. Namun, kendatipun memiliki potensi tersebut, Balanipa masih menghadapi tantangan besar dalam hal infrastruktur.
Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi adalah buruknya aksesibilitas. Jalan-jalan yang menghubungkan Balanipa dengan daerah lain sering kali rusak dan sulit dilalui, terutama saat musim hujan.
Hal ini tentu mempengaruhi distribusi barang dan jasa, serta mempersulit masyarakat untuk mengakses pasar yang lebih luas.
Di samping itu, sektor pertanian dan perikanan yang menjadi andalan masih menghadapi kendala dalam hal pengolahan dan pemasaran. Banyak produk lokal yang seharusnya bisa dijual ke pasar lebih luas justru terbuang sia-sia karena keterbatasan fasilitas pengolahan dan distribusi.
Jika Balanipa menjadi kabupaten baru, tentu saja harus ada perhatian serius pada sektor ini agar ekonomi lokal bisa berkembang.
Tapi, apakah anggaran daerah yang terbentuk setelah pemekaran cukup untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung ekonomi lainnya? Ini masih menjadi pertanyaan besar.
Bagaimana Kesiapan Masyarakat?
Masyarakat Balanipa (yang pro) sudah lama menginginkan pemekaran. Mereka merasa bahwa dengan menjadi kabupaten baru, mereka bisa lebih mudah mengakses layanan publik dan mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Namun, meskipun wacana pemekaran ini disambut positif oleh sebagian besar masyarakat, ada beberapa tantangan sosial yang perlu diperhatikan.
Pertama, kesadaran politik dan kapasitas masyarakat dalam mengelola pemerintahan daerah yang baru masih relatif rendah. Masyarakat Balanipa mungkin sudah cukup paham dengan politik lokal, namun memisahkan diri dari Polewali Mandar berarti harus memulai dari awal dalam hal pembangunan institusi pemerintahan.
Tentu saja ini bukan hal yang enteng, karena memerlukan kapasitas sumber daya manusia yang mencukupi untuk menjalankan roda pemerintahan yang efisien.
Kedua, kesenjangan sosial, terutama antara masyarakat yang tinggal di pusat kota dan daerah pinggiran yang mungkin masih kurang terlayani. Ketimpangan sosial ini bisa saja muncul karena adanya perbedaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Pemekaran daerah seringkali justru memperlebar jurang ketimpangan, terutama di daerah-daerah yang belum memiliki sumber daya manusia atau infrastruktur yang cukup untuk mendukung pemerintahan baru.
Oleh karena itu, selain ingin menjadi kabupaten baru, Balanipa juga harus mempersiapkan diri dengan lebih baik agar tidak terjebak dalam masalah sosial yang lebih besar.
Siapa yang Diuntungkan?
Di balik semua keinginan untuk pemekaran ini, ada faktor politik yang tak bisa diabaikan. Pemekaran daerah sering kali terkait dengan kepentingan politik dan kekuasaan.
Di banyak kasus, politisi lokal menggunakan wacana pemekaran sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan lebih besar. Tentu saja, bagi mereka yang berkepentingan, pemekaran ini bisa menjadi jalan pintas menuju posisi yang lebih menguntungkan.
Akan tetapi, pemekaran yang didorong oleh kepentingan politik semata sering kali tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Tidak jarang pemekaran daerah justru hanya menguntungkan segelintir pihak yang memiliki koneksi politik kuat.
Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, agar pemekaran yang terjadi bukan hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi benar-benar bisa memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.
Selain itu, Balanipa yang kini masih berada dalam wilayah administrasi Polewali Mandar tentu memiliki keterkaitan politik yang kuat dengan kabupaten induk. Jika pemekaran terjadi, ada risiko terjadinya gesekan politik antara pemerintah daerah yang baru dan kabupaten induk.
Bukan tidak mungkin, konflik antar daerah bisa muncul, apalagi jika ada perebutan anggaran atau perbedaan pandangan tentang pembangunan.
Siapkah Balanipa Mengelola Pemerintahan?
Salah satu aspek yang sering kali terlupakan dalam wacana pemekaran adalah kesiapan administratif.
Pemekaran daerah bukan hanya soal memisahkan wilayah, tetapi juga soal membangun pemerintahan baru yang efektif dan efisien. Untuk itu, Balanipa harus memiliki infrastruktur administrasi yang siap, mulai dari pejabat pemerintahan yang berkompeten hingga sistem pelayanan publik yang efisien.
Namun, kenyataannya, membangun pemerintahan baru itu tidaklah mudah. Pemerintahan yang baru terbentuk harus mampu menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Itu berarti harus ada anggaran yang cukup untuk membangun semua itu, serta tenaga kerja yang mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Jika anggaran dan tenaga kerja ini tidak tersedia, maka pemekaran daerah bisa berisiko menjadi masalah baru yang lebih besar.
Apakah Pemekaran Balanipa Layak?
Jadi, apakah Balanipa layak menjadi kabupaten baru? Jawabannya tidak bisa hanya dilihat dari keinginan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat atau mendekatkan pelayanan publik.
Pemekaran ini harus dilihat dalam konteks kesiapan ekonomi, sosial, politik, dan administrasi. Tanpa perencanaan yang matang, pemekaran bisa menjadi petaka yang menambah masalah baru bagi masyarakat.
Balanipa memang memiliki potensi besar, namun tantangan yang dihadapi untuk menjadi kabupaten baru juga sangat besar. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, pemerintahan yang efisien, dan pengelolaan anggaran yang baik, impian untuk menjadi kabupaten baru bisa berujung pada stagnasi dan ketimpangan sosial yang lebih parah.
Pemekaran Balanipa memang menarik, tetapi kita harus jujur dengan diri kita sendiri: apakah kita siap? Tentu ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara kolektif.
Semoga Balanipa kelak menjadi kabupaten baru yang mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, tidak ada diskriminasi, berkeadilan, dan tentu ma’barakka’ di seseta iya nasanna (berkah untuk semua). (*)