Penulis: Hervhol
AKARNEWS.ID, OPINI – Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi yang sah dan dijamin oleh undang-undang. Dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, demonstrasi kerap menjadi instrumen perubahan sosial yang membawa dampak besar bagi masyarakat.
Namun, aksi demonstrasi yang baru-baru ini terjadi di Majene, antara kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan mahasiswi dari STIKES BBM Majene, menciptakan polemik yang menyita perhatian publik.
Fenomena ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat bukan hanya karena perbedaan pendapat yang terjadi, tetapi juga karena munculnya tindakan yang dianggap kurang mencerminkan etika dan moralitas aktivisme mahasiswa.
Masyarakat dikejutkan oleh tindakan arogan yang dilakukan oleh oknum aktivis HMI, yang berujung pada aksi saling dorong hingga penarikan bendera HMI dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab menjaga simbol organisasi tersebut.
Demonstrasi yang Keluar dari Khittah Perjuangan HMI
HMI, sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, memiliki sejarah panjang dalam membangun intelektualitas dan keislaman kadernya. Sejak berdiri pada tahun 1947, HMI dikenal sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik, independensi, dan moralitas. Namun, insiden di Majene ini justru menunjukkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai dasar HMI.
Aksi demonstrasi yang berubah menjadi konfrontasi fisik dan verbal terhadap mahasiswi STIKES BBM Majene bukan hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas kaderisasi dan pembinaan dalam tubuh HMI saat ini.
Jika benar terjadi kekerasan verbal terhadap mahasiswi, maka ini adalah alarm keras bagi HMI untuk kembali menata sistem kaderisasinya agar tidak melahirkan kader-kader yang justru merusak citra perjuangan organisasi.
Demonstrasi sejatinya adalah bentuk komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Namun, ketika aksi ini berubah menjadi ajang unjuk kekuatan tanpa mengedepankan dialog yang sehat, maka esensi perjuangan pun sirna. Dalam aksi di Majene ini, seharusnya semua bisa menahan diri dan lebih mengutamakan pendekatan dialogis daripada tindakan konfrontatif.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh elemen mahasiswa bahwa dalam berjuang untuk kepentingan masyarakat, diperlukan kedewasaan dalam menyampaikan aspirasi.
Demonstrasi bukanlah ajang untuk menunjukkan kekuatan fisik atau verbal, tetapi sebagai wadah untuk memperjuangkan keadilan dengan cara yang elegan dan terhormat.
Tidak bisa dipungkiri, aksi ini menimbulkan dampak yang cukup besar di masyarakat. Kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa, khususnya HMI, bisa mengalami penurunan akibat perilaku tidak terpuji ini.
Oleh karena itu, penting bagi HMI untuk segera melakukan evaluasi dan klarifikasi atas insiden ini agar tidak semakin memperburuk citra organisasi.
Pihak yg terlibat dalam aksi ini, terutama mereka yang diduga melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap mahasiswi, perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu, organisasi HMI harus bersikap tegas dalam menindak kader2 yang mencederai nilai-nilai perjuangan organisasi.
Peristiwa ini menjadi momentum bagi seluruh organisasi mahasiswa untuk merefleksikan kembali makna dari aktivisme. Mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam berjuang.
Demonstrasi bukanlah sekadar aksi turun ke jalan, melainkan harus disertai dengan pemahaman mendalam terhadap isu yang diperjuangkan serta strategi komunikasi yg baik.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya mampu menggunakan nalar dan argumentasi yang kuat dalam menyampaikan tuntutan. Ketika aksi lebih didominasi oleh emosi dan sikap arogan, maka pergerakan mahasiswa tidak lagi menjadi solusi bagi permasalahan masyarakat, melainkan justru menambah masalah baru.
Aksi demonstrasi yang terjadi di Majene harus menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak, terutama bagi HMI. Demonstrasi yang seharusnya menjadi alat perjuangan justru berubah menjadi arena ketegangan yang tidak produktif.
Diperlukan komitmen bersama dari semua elemen mahasiswa untuk mengembalikan marwah aktivisme ke jalur yang benar—yakni dengan mengedepankan intelektualitas, moralitas, dan etika dalam setiap perjuangan.
Jika hal ini tidak diperbaiki, maka kepercayaan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa akan semakin luntur, dan mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai agen perubahan yang mampu membawa kemajuan bagi daerah bangsa. (*)